Di pelbagai kesempatan, baik ketika
mengisi pengajian, menghadiri undangan, maupun menerima tamu, Bapak kerap
menceritakan ihwal Mbah Ma’shum dan kiai-kiai “kramat” lainnya di Lasem. Baik
itu Mbah Baidlowi, Mbah Kholil, Mbah Masduqi, maupun kiai-kiai lain yang hidup
dalam lembah khumul dan keterasingan.
Tak jarang, di sela-sela obrolan itu Bapak tersengguk menahan perih yang
bergemuruh di dadanya mengenang masa-masa nyantri dulu. Belakangan aku baru
mengerti, di antara sekian pesantren yang pernah beliau singgahi, al-Hidayat
Lasem rupanya mendapatkan tempat khusus di pedalaman memori kognitif dan
spiritual beliau.
Seperti kerap Bapak tuturkan padaku
dulu, Lasem, disamping sebagai gudang ilmu-ilmu agama (Islam), juga diyakini
sebagai pesulukan tempat para santri mengolah potensi ilmu hikmah dan ruhaniah.
Meski sejujurnya, untuk kategori pertama (hikmah), para santri banyak yang
menjadi petualang partikelir di luar pesantren al-Hidayat. Mbah Ma’shum
sendiri, seperti penuturan Mbah Nyai Azizah, kerap menghardik para santrinya
yang terlalu getol “tirakat aneh-aneh” hingga menyebabkan aktivitas mengaji
kedodoran. Ilmu hikmah yang aku dimaksud di sini adalah ilmu “jampi dan
aji-aji”. Sebab, seperti didhawuhkan Romo Yai Djamaluddin Ahmad Jombang padaku:
diksi Hikmah mempunyai 29 makna. Di antaranya bermakna: ilmu, ketabiban, dan
makrifat.
Fakta ini dibenarkan oleh KH. Habib
Ridlwan, salah satu murid generasi terakhir era Mbah Ma’shum yang masih hidup
dan tinggal tak jauh dari ponpes al-Hidayat. Kiai rendah hati berwajah teduh
itu tak keberatan ketika aku singgah ke ndalemnya demi asa berbagi kisah. Walau
keriput sudah mulai menghiasi wajah, aura basuhan wudlu dan tapak suci sajadah
jelas terpancar dari wajahnya yang agung. Beliau berkisah, bahwa dulu
santri-santri asal Cirebon dan Brebes termasuk dalam kategori santri yang hobi
melakukan penjelajahan semesta hikmah. Dua orang santri yang masuk tipologi itu
adalah almarhum Bapak dan almaghfurlah
KH. Fuad Hasyim, Buntet, Cirebon.
Alkisah, pada medio 1954-1955, kedua
sahabat karib ini mesantren di al-Hidayat, Lasem. Keduanya sama-sama berasal
dari Cirebon dan begitu gandrung dengan segala hal yang berbau hikmah dan
kanuragan –satu hal yang menjadi kecenderungan santri periode pertama hingga
saat ini. Hehehe. Bahkan karena saking gandrungnya, Bapak sampai pernah ditegur
Mbah Ma’shum lantaran ngaji dan jamaahnya semrawut. Konon, salah satu ajian
yang waktu itu dilakukan Bapak bersama Kiai Fuad adalah amalan-amalan pengasihan. Utamanya pengasihan untuk menggaet
simpati perempuan.
Tirakatpun mulai dihelat. Lengkap
dengan pelbagai aji-mantra yang menghiasinya. Seusai khatam melakoni “tirakat
ganjil” itu, Bapak dan Kiai Fuad sontak menjadi idola kaum hawa di seantero
dukuh Sodetan. Keduanya ibarat kumbang yang ditunggu oleh deretan bunga-bunga
merekah berjelajar. Tapi karena tirakat itu dilakukan hanya dalam rangka
penjajagan, maka tak ada satupun bunga yang dihinggapi. Justru kedua karib ini
saling mengikat janji: kelak jika sudah menikah dan punya anak laki-laki, akan
diberi nama akhir Hakim. Putera pertama Kiai Fuad adalah almarhum KH. Luthfi
Elt Hakim (allahummaghfirlah). Anak
sulung Bapak bernama Agus Hakim.
Lasem, setidaknya menurut kacamata
pandangku yang cuma dua hari di sana, sungguh eksotis dan mempesona. Dalam
ungkapan Prof. Dr. H. Mukti Ali, mantan Menteri Agama RI dan Guru Besar UIN
Sunan Kalijaga Jogjakarta: Lasem bukan hanya kantong etnis Tionghoa, tapi lebih
dari itu, gudangnya ilmu dan ulama. Ulama-ulama yang hidup di kota kecamatan
ini dikenal sebagai ulama-ulama otoritatif di bidang ilmu keagamaan. Ini tak
lain berkat torehan ulama cum bangsawan yang hidup abad 17, Sayyid Abdurrahman
Basyaiban (Mbah Sambu). Mbah Sambu, salah satu figur sentral yang makamnya
senantiasa jadi referensi utama para peziarah, diyakini telah melahirkan
bejibun ulama agung di Lasem dan daerah-daerah lain. Lantaran begitu banyaknya
orang alim di pesisir ini, bahkan sampai muncul hiperbola: penjual rokokpun
banyak yang hafal nazham Alfiyyah Ibni Malik (Hamid Ahmad, 2: 2003).
Jika ditilik sekelebat, hiperbola
itu memang tak berlebihan. Sejak aku menghirup oksigen di bumi Lasem, citarasa
masyarakat santri begitu kental terasa. Sarung dan kopiah menjadi busana
favorit di sekitar dukuh Sodetan dan Sumbergirang (desa tempat Shohibul Fadilah Mbah Yai Hamid Pasuruan
lahir). Bahkan di kampung Kauman-pun, yang terkenal sebagai basis utama masyarakat
Tionghoa, kesan demikian tetap tak bisa dielakkan. Ada beberapa rumah milik
warga Tionghoa yang bermetamorfosa menjadi pondok pesantren –dengan tetap
melestarikan corak arsitektur Tionghoa tentunya. Bahkan tak jauh dari pondok
Gus Zaim di Kauman, terdapat poskamling yang berdesain klenteng. Di pintunya
terdapat paduan cantik aksara mandarin dan kaligrafi Arab. Bhinneka memang
sudah menjadi jantung masyarakat Lasem sejak lama.
Satu yang membuatku mengalami
keheranan yang masygul adalah: di balik semua kekramatan yang dimiliki
manusia-manusia agung di Lasem itu, aku tak menemukan jejak berseminya tarekat
di sini. Tarekat dalam arti linier tentunya. Terutama pada sosok Mbah Ma’shum
dan Mbah Nyai Azizah. Akupun menanyakan ihwal kebingungan ini pada Sang Lurah
Pondok: Mas Hanif.
Santri asal Sarang ini kemudian dengan telaten menjelaskan: “Sepanjang
pengetahuan saya, Mbah Ma’shum memang tidak mengikuti aliran tarekat tertentu.
Begitu juga dengan Mbah Nyai Azizah. Tarekat beliau berdua “hanya” tarekat ta’lim wa ta’allum (tarekat belajar
mengajar secara istiqamah)”.
Ini terbukti, seperti sudah aku
singgung di muka, Mbah Ma’shum hingga akhir hayatnya istiqamah mengajar dan
mentradisikan bangun malam (qiyamu layl)
terhadap para santrinya. Begitu juga Mbah Nyai Azizah, hingga kini di usianya
yang nyaris satu abad, Mbah Nyai tetap mendekap al-Qur’an dalam nadinya dan
membisikkan firman-firman Tuhan itu pada para santri dan jamaahnya. Di akhir
perjumpaan, beliau bahkan secara khusus menyetir hadits Nabi untukku: khoyrukum man ta’allam al Qur’ana wa
allamahu (manusia terbaik adalah mereka yang menelaah al Qur’an dan
membisikkan isinya pada semesta). Hadits riwayat Imam Bukhari itu hingga kini
masih terngiang di kepala dan dada kiriku.
Pernyataan ini mengingatkanku pada
Mbah Yai Ahmad Djazuli Utsman, Ploso, Mojo, Kediri (ayahanda Gus Miek). Kiai
kharismatik santri kinasihnya Mbah Yai Zainuddin Mojosari Nganjuk ini dikenal
sebagai kiai sederhana dengan amaliah-amaliah sederhana. Amalan Mbah Djazuli
hanya disiplin. Titik! Disiplin mendidik,
disiplin ngimami jamaah, disiplin muthalaah,
disiplin khataman Qur’an, dan disiplin melayani masyarakat sekitar. Mbah
Djazuli hampir tak pernah puasa sunnah dan melakoni ritus dzikir tertentu.
Beliau bahkan tak mengikuti satu aliran tarekat khusus terntentu, lantaran
tarekat Mbah Djazuli “hanya” tarekat belajar dan mengajar.
Mbah Djazuli yakin betul bahwa
tarekat belajar dan mengajar adalah jenis tarekat yang tak kalah agungnya
dengan tarekat-tarekat lain. Keyakinan ini diperkokoh setelah Mbah Djazuli
sowan ke sang arif billah Mbah Yai Hamid Pasuruan. Mbah Yai Hamid saat itu memberi
petuah pada Mbah Djazuli, bahwa at-Thuruq
ilaLlahi katsirotun. WaLlahi, inna
afdhola at thuruqi thariqatu at ta’lim wa at-taallum (banyak jalan menuju
Sang Khaliq. Tapi demi Allah! Sungguh yang paling utama dari pelbagai jalan itu
adalah jalan belajar dan mengajar). Dan ini dilakoni secara ajeg dan istiqamah
oleh Mbah Djazuli hingga di titimangsa 10 Januari tahun 1976 ketika pada
akhirnya beliau bertemu dengan sang Kekasih Agung. (Insya Allah, jika
diizinkan, setelah catatan tentang Lasem, saya akan menggurat sesobek kisah
ihwal Ploso).
Aku percaya, banyak jalan menuju
Roma. Banyak jalan menuju Tuhan. Likulli
ja’alna minkum syir’atan wa minhajan. Begitu juga aku percaya, ketika
seorang santri senior al-Hidayat bercerita padaku tentang “kisah aneh” yang
menimpanya beberapa tahun lalu. Saat itu ia tengah dihinggapi gelisah yang tak
terperikan. Sebagai putera sulung, ayah ibunya menuntut agar ia segera menikah
dan bekerja selayak pemuda pada galibnya. Tuntutan yang terus menerus disampaikan
itu lambat laun membulatkan tekadnya untuk mentaati perintah orang tua.
Sementara di hatinya masih tertancap kuat sebersit tekad untuk terus mesantren
dan melayani Mbah Nyai. Tapi tekadnya ambruk ketika orang tua, tanpa
sepengetahuannya, telah menyiapkan calon mempelai di rumah. Ia pun pulang.
Mencoba memahami keadaan. Mencoba mengerti kehendak orang tua. Hingga pada
akhirnya pasrah. Berkalang menyerah.
Ia berangkat ke pesantren untuk
sowan minta restu. Juga pamit permisi tentu saja. Baru duduk dengan pikiran dan
perasaan yang campur aduk, tanpa ada satu-dua patah katapun yang keluar, Mbah
Nyai yang dari tadi mengamati gelagat santrinya itu hanya berkata: “mosok aku kon ngobah ketentuane loh mahfudz,
nak???” Si santri terbelalak. Terkesiap. Kaget bercampur bingung memahami pernyataan
Mbah Nyai. Ia yakin, yang mengetahui informasi tentang pernikahannya hanya ia
dan keluarga di rumah. Tak ada satupun santri yang tahu, apalagi Mbah Nyai.
Tapi mendapat pernyataan dan pertanyaan Mbah Nyai yang menghentak itu, tanpa
ba-bi-bu ia sekonyong undur diri. Bersalaman. Keluarga di rumah pun langsung ia
kabari untuk sesegera membatalkan pernikahan.
Ketaatan sang santri itu tunai
sudah. Paripurna. Tanpa tendens dan pretensi apapun. Kepasrahannya pada Mbah
Nyai adalah bentuk totalitas ketaatan santri pada guru, pada kiai, pada Mbah
Nyai. Tapi ternyata kepasrahan dan ketaatannya berbuah sungging senyum merekah
di kemudian hari. Lantaran diam-diam, Mbah Nyai sudah sejak jauh-jauh hari
telah menyiapkan gadis jelita nan shalehah yang akan segera dipinangkan untuk
sang santri. Sebagai sesama santri, jujur aku iri pada pengabdiannya,
kepasrahannya dan ketaatannya yang begitu tulus dan militan sempurna. Sebab
sebagai santri ia telah mendapatkan kemerdekaan yang hakiki. Tanpa ada hari
santripun, sungguh, ia sudah menjadi santri sejati.
===
Selanjutnya: Lasem dan Kebhinnekaan
Bersambung…
0 Response to " Bapak dan Lasem "
Posting Komentar